Pendidikan di Indonesia memiliki beberapa polemik yang sulit untuk diatasi dalam waktu. Berbagai masalah terjadi di dunia pendidikan di Indonesia sangat memperihatinkan mengingat indonesia merupakan negara berkembang yang sangat membutuhkan pendidikan yang baik dan bisa bersaing di dunia internasional.
Pendidikan di Indonesia Mahal
Pepatah barat kaum kapitalis menyebutkan “tidak ada sarapan pagi yang gratis”. Impian untuk dapat mengenyam pendidikan di PTN favorit seakan dihadang ranjau yang membahayakan masa depannya.
Pepatah barat kaum kapitalis menyebutkan “tidak ada sarapan pagi yang gratis”. Impian untuk dapat mengenyam pendidikan di PTN favorit seakan dihadang ranjau yang membahayakan masa depannya.
Pihak PTN berpikir bahwa kampus yang mereka kelola sangat marketable sehingga merekapun mengikuti hukum ekonomi, “biaya tinggi mengikuti permintaan yang naik”. Memang cukup dilematis, disatu sisi masyarakat dan negara selalu ingin meningkatkan kemampuan atau kecerdasan penerus bangsanya tetapi secara paradoks, masyarakat telah dibelenggu oleh biaya pendidikan yang mahal dan membuat seolah olah hanya kaum yang berduitlah yang mampu menyekolahkan anaknya Meski secara resmi pembukaan pasar bebas bidang pendidikan di Indonesia berlaku mulai tahun 2006 namun invasi pendidikan asing yang berimplikasi pada meningkatnya biaya pendidikan sudah lama terasa. Memang sebuah angka partisipasi pendidikan yang masih dibawah standar. Dan dengan berbekal ini, pendidikan tinggi di Indonesia semakin mahal yang semakin menjauhkan masyarakat menengah ke bawah dengan keinginan untuk menyekolahkan anaknya di perguruan tinggi negeri favorit yang murah.
Pendidikan di Indonesia Tidak Terfokus
Pendidikan Indonesia selama ini terkesan tidak terfokus, ganti menteri pendidikan maka ganti juga kurikulum dan sistem pendidikannya. Pendidikan di Indonesia kurang membentuk kepribadian akademis (academic personality) yang utuh. Kepribadian akademis sangat penting dimiliki oleh pelaku pendidikan (anak didik dan pendidik) yang akan maupun yang sudah menguasai ilmu pengetahuan. Kepribadian akademislah yang dapat membedakan pelaku pendidikan dengan masyarakat umum lainnya. Diskusi yang bersifat dialog jarang terjadi dalam proses pendidikan kita, bersuara kadangkala diartikan keributan yang dikaitkan dengan tanda bahwa anak yang bersangkutan tidak disiplin atau bahkan dianggap bodoh.
Kondisi pendidikan utamanya di perguruan tinggi dewasa ini terlihat kurang kondusif dan kurang konstruktif karena terjadi gejala sosial yang kurang baik muncul dalam lingkungan kampus. Tampaknya pendidikan di Indonesia belum sepenuhnya mampu mewujudkan watak dari ilmu pengetahuan yang bersifat terbuka. Pada awalnya ilmu pengetahuan yang dihasilkan dari dunia pendidikan berposisi untuk melakukan perlawanan terhadap mitos-mitos, seperti perlawanan Socrates terhadap tradisi mitologi budaya Yunani kuno yang percaya akan adanya dewa-dewi dan menganggapnya sebagai segala galanya. Guru merupakan faktor yang penting dalam pendidikan, sebaik apapun sistem dan kurikulumnya yang dibuat, jika tidak didukung oleh profesionalisme guru maka bisa dipastikan hasilnya tidak maksimal. Undang-Undang tentang Guru dan Dosen yang telah disahkan tidak secara cepat ditindaklanjuti oleh pemerintah. Ada sesuatu yang krusial atas kompleknya permasalahan dalam dunia pendidikan di Indonesia dimana anggaran pendidikan kita masih jauh dari anggaran yang digariskan yaitu 20% dari APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) seperti disyaratkan oleh Undang Undang Dasar kita. Sebagai gambaran saja, untuk tahun 2006 anggaran pendidikan kita baru Rp 41,3 triliun atau sekitar 9,1% dari APBN, bahkan peningkatan anggaran pendidikan yang diajukan oleh pemerintah untuk RAPBN 2007 sangat tidak signifikan sekali yakni hanya menjadi Rp. 51,3 triliun atau sekitar 10,3 % dari RAPBN.
Pendidikan Indonesia selama ini terkesan tidak terfokus, ganti menteri pendidikan maka ganti juga kurikulum dan sistem pendidikannya. Pendidikan di Indonesia kurang membentuk kepribadian akademis (academic personality) yang utuh. Kepribadian akademis sangat penting dimiliki oleh pelaku pendidikan (anak didik dan pendidik) yang akan maupun yang sudah menguasai ilmu pengetahuan. Kepribadian akademislah yang dapat membedakan pelaku pendidikan dengan masyarakat umum lainnya. Diskusi yang bersifat dialog jarang terjadi dalam proses pendidikan kita, bersuara kadangkala diartikan keributan yang dikaitkan dengan tanda bahwa anak yang bersangkutan tidak disiplin atau bahkan dianggap bodoh.
Kondisi pendidikan utamanya di perguruan tinggi dewasa ini terlihat kurang kondusif dan kurang konstruktif karena terjadi gejala sosial yang kurang baik muncul dalam lingkungan kampus. Tampaknya pendidikan di Indonesia belum sepenuhnya mampu mewujudkan watak dari ilmu pengetahuan yang bersifat terbuka. Pada awalnya ilmu pengetahuan yang dihasilkan dari dunia pendidikan berposisi untuk melakukan perlawanan terhadap mitos-mitos, seperti perlawanan Socrates terhadap tradisi mitologi budaya Yunani kuno yang percaya akan adanya dewa-dewi dan menganggapnya sebagai segala galanya. Guru merupakan faktor yang penting dalam pendidikan, sebaik apapun sistem dan kurikulumnya yang dibuat, jika tidak didukung oleh profesionalisme guru maka bisa dipastikan hasilnya tidak maksimal. Undang-Undang tentang Guru dan Dosen yang telah disahkan tidak secara cepat ditindaklanjuti oleh pemerintah. Ada sesuatu yang krusial atas kompleknya permasalahan dalam dunia pendidikan di Indonesia dimana anggaran pendidikan kita masih jauh dari anggaran yang digariskan yaitu 20% dari APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) seperti disyaratkan oleh Undang Undang Dasar kita. Sebagai gambaran saja, untuk tahun 2006 anggaran pendidikan kita baru Rp 41,3 triliun atau sekitar 9,1% dari APBN, bahkan peningkatan anggaran pendidikan yang diajukan oleh pemerintah untuk RAPBN 2007 sangat tidak signifikan sekali yakni hanya menjadi Rp. 51,3 triliun atau sekitar 10,3 % dari RAPBN.
Pendidikan di Indonesia yang Membebaskan
Pikiran manusia dapat membuat kesadaran, kesadaran adalah pengetahuan yang dibentuk oleh pikiran atau akal manusia. Karena itu kita akan mengenang pikiran Rene Descartes yang mengatakan bahwa “aku berpikir, aku sadar, maka aku ada” dengan demikian, kesadaran yang ada dalam pikiran itu membuat kita memiliki pengetahuan. Kondisi pendidikan di Indonesia harus mulai diarahkan kepada peningkatan kesadaran peserta didik dalam memandang objek yang ada, peran pendidik yang sangat dominan dan otoriter harus dikurangi, peranan pemerintahpun dalam “mengacak-acak” kurikulum harus dikaji secara cermat, kalaupun itu harus dilakukan maka terlebih dahulu harus dilakukan penyerapan aspirasi secara demokratis.
Segenap komponen bangsa harus turut melakukan pembenahan sistem pendidikan di Indonesia sehingga penciptaan kesadaran individu dalam rangka kebebasan berpikir dan bertindak dengan mengedepankan etika dan norma di masyarakat dapat diwujudkan, hal ini dapat dilakukan melalui pendidikan formal di bangku sekolah dan juga pendidikan non formal sebagai metode pendampingan masyarakat luas dalam proses pendidikan bangsa yang harus terus dilakukan secara kontinyu, karena di masa sekarang maupun di masa mendatang, seorang intelektual tidak hanya cukup bergutat dengan ilmunya belaka namun realita sosial di masyarakat juga harus menjadi objek pemikiran dalam dirinya. Dengan ketatnya persaingan dewasa ini, arah pendidikan di Indonesia harus mampu berperan menyiapkan peserta didik dalam konstelasi masyarakat global dan pada waktu yang sama, pendidikan juga memiliki kewajiban untuk melestarikan national character dari bangsa Indonesia.
Guru Sejati dan Revolusioner
Setiap orang pasti sepakat kalu seorang guru harus menjadi teladan bagi siswa dan masyarakat. Bukahkah guru itu digugu lan ditiru. Namun, apakah guru cukup menjadi teladan? Menurut penulis tidak. Mengapa? Karena guru juga harus sejati dan revolusioner. Artinya, yang perlu disoroti di sini juga semangat guru dalam mengemban tugas mulianya.
Secara implist, bisa disimpulkan ada “guru sejati” dan “guru aspal”. Guru sejati adalah meraka yang menjalankan tugasnya dengan penuh semagat keikhlasan dan semangat revolusioner mendidik anak bangsa. Sedangkan guru aspal adalah mereka yang berorientasi pada “rupiah” belaka, mengajar tanpa mendidik, memenuhi presensi tanpa menjadi motivator sejati bagi siswa di sekolah.
era global seperti ini memang menuntut guru untuk menjadi pragmatis. Artinya, guru butuh kesejahteraan dan kemakmuran. Dan hal itu salah satunya diperoleh dari tugasnya sebagai guru di lembaga pendidikan. Di sisi lain munculnya kebijakan sertifikasi semakin menjadikan guru salah niat dalam mengajar. Padahal kebijakan tersebut seharusnya menjadikan guru lebih kreatif, inivatif, dan profesional dalam mengemban misi mencerdaskan anak bangsa, bukan sekedar mengejar rupiah. Oleh karena itu, hal ini harus segera diluruskan.
Lalu bagai mana caranya? Caranya adalah dimulai dari mencegah munculnya guru aspal. Karena apa artinya rupiah, jika guru tidak biasa menjalankan tugas sucinya. Maka sebagai insan pendidikan, hal itu harus disikapi guru dengan arif. Salah satunya adalah dengan mencegah munculnya guru aspal dengan beberapa solusi dan trobosan yang efektif. Setidaknya ada beberapa cara, antara lain:
Pertama, memperketat penerimaan guru, baik sekolah berstatus swasta maupun negeri, PNS atau GTT. Mengapa demikian? Karena, selama ini masih banyak orang masuk sekolah dan menjadi guru hanya “berbasis KKN”. Artinya, asalkan punya kenalan pihak sekolah/dinas, asalkan punya uang ratusan juta rupiah, maka akses masuk jadi guru juga mudah.
Kedua, mempertegas aturan dan kiteria atau syarat menjadi guru. Selama ini, penerimaan guru tidak ketat dan kriterianya tidak jelas. Kita ketahui bahwa setidaknya seorang guru harus memiliki empat kompetensi pendidikan, yaitu pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional.
Ketiga, guru harus linier, sesuai jurusannya. Artinya, jika guru itu lulusan Pendidikan Agama Islam, maka yang diajar gura mata pelajran agama Islam pula. Masih sering kita jumpai fakta di lapangan, guru mengajar tidak sesuai dengan bidangnya. Misalnya, lulusan Pendidikan Bahasa Indonesia mengajar materi bahasa Inggris, lulusan Pendidikan Biologi mengajar materi Ekonomi, dan sebagainya.
Yang jelas dan utama adalah guru harus memenuhi kualifikasi akademik dan kriteria plus-plus. Artinya, selama ini banyak guru yang pandai secara akademik, namun tidak mampu menjadi pendidik yang mampu memberikan motivasi dan semangat bagi siswanya. Inilah yang disebut dengan “kemampuan puls-plus”yang jarang dimiliki oleh guru. Bahkan banyak guru killer yang ditakuti siswanya, guru yang selalu memakai metode CBSA (Catat Buku Sampai Abis), guru yang mengajar ala kadarnya, banhkan guru yang centil/gatalkepada sisiwinya, dan masih banyak contoh lainnya. Inilah yang perlu dibenahi, jangan sampai guru aspal merusak pendidikan di negara ini.
Guru Revolusioner
Apakah cukup dengan itu, guru menjadi penentu pendidkan di negara ini? Tentu tidak, yang tak kalah urgen adalah perlunya guru revolusioner yang mengajar penuh dengan motivasi tinggi dengan semangat memajukan pendidikan Indonesia. Menurut Dian Marta Wijayanti, guru revolusioner memiliki beberapa ciri.
Pertama, dia selalu mengajar penuh rasa ikhlas tanpa pamrih. Artinya, dia tetap butuh kesejahteraan, tetapi bukan itu tujuannya. Mengapa? Karena menjadi guru bukanlah tujuan, karena posisi guru hanyalah alat untuk berbuat baik lebih banyak lagi dalam rangka memajukan pendidikan Indonesia yang masih jauh dari harapan.
Kedua, memiliki tingkat kedisiplinan yang tinggi. Artinya, bagai mana mungkin siswa akan bersikp disiplin kalau gurunya tidak.
Ketiga, selalu menjadi dambaan siswa dan memberikan motivasi kepada siswa agar semangat dalam mencari ilmu, baik di sekolah maupun di luar sekolah.
Keempat, mampu mengajarkan kepada siswa, bahwa hidup tidak sekedar menjadi manusia berilmu, akan tetapi juga beriman dan beramal.
Kelima, selalu mengajarkan kepada siswa bahwa hidup bukan sekedar “mejadi apa” (to be), tapi yang lebih penting adalah “berbuat apa” (to do).
Inilah yang harus ditanamkan kepada siswa. Dengan demikian, wajah pendidikan kita akan semakin berseri-seri, jika para gurunya sejati dan revolusioner, bukan aspal.
Maka dari itu jadilah guru sejati dan revolusioner, bukan aspal. Bagaimana menurut Anda?
Guru Profesional
Sebagian orang berpendapat, bahwa mengajar adalah proses penyampaian atau mentransfer ilmu dari seorang pendidik kepada peserta didik. Tetapi tampaknya pendapat ini harus jauh-jauh ditinggalkan, karena sudah tidak sesuai dengan perkembangan jaman. Kini mengajar harus kita maknai sebagai sebuah kegiatan yang komplek, yaitu penggunaan secara integratif sejumlah keterampilan untuk menyampaikan ilmu. Pengintegrasian keterampilan-keterampilan yang dimaksud di sini harus dilandasi dengan seperangkat teori dan diarahkan oleh suatu pengetahuan/wawasan. Sedangkan penearapannya akan menjadi unik bila dipengaruhi oleh semua komponen belajar mengajar. Komponen yang dimaksud adalah tujuan yang hendak digapai, ilmu yang ingin disampaikan, seubjek didik, fasilitas dan lingkungan belajar, dan yang tidak kalah penting adalah keterampilan, kebiasaan dan wawasan guru tentang dunia pendidikan dan misinya sebagai pendidik.
Jika mengajar dipahami sebagai kegiatan mentransfer ilmu kepada siswa, maka mengajar itu sendiri hanya akan terbatas pada penyampaian ilmu itu saja. Guru di pihak pertama menyampaiakan ilmu dan siswa di pihak kedua akan menerima secara pasif. Prosesnya pun bisa diketahui, pembelajaran akan berjalan secara membosankan. Karena yang mendominasi pembelajaran adalah guru, sedangkan siswa hanya sebagai penerima.
Namun, apabila mengajar dimaknai sebagai segala upaya yang dilakukan dengan sengaja untuk menciptakan proses belajara pada siswa dan mencapai tujuan yang telah dirumuskan, maka jelas bahwa yang menjadi sasaran akhir dari proses pengajaran itu ialah siswa belajar. Artinya dalam hal ini segala upaya apapun dapat dilakukan selagi bisa dipertanggungjawabkan, dan bisa menghantarkan siswa menuju pencapaian tujuan belajar yang telah dicanangkan, artinya siswa belajar secara aktif, dan yang mendominasi dikelas adalah siswa.
Kesimpulannya, hakekat menjajar itu merupakan usaha guru menciptakan dan mendesain proses belajar pada siswa. Jadi yang terpenting dalam belajar mengajar itu bukanlah bahan yang disampaikan oleh guru, akan tetapi proses siswa dalam mempelajari bahan tersebut (guru lebih menghargai proses dari pada hasil). Sekali lagi peranan yang menonjol dalam belajar mengajar ada pada siswa, ini bukan berarti bahwa peranan guru tersisihkan, hanya diubah saja.
Jadi, guru yang profesional adalah guru yang dapat melakukan tugas mengajarnya dengan baik melalui keterampilan-keterampilan khusus agar tercipta sebuah pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan meyenangkan.
Pendidikan Anak
Artikel pendidikan anak sangat penting dibaca bagi setiap orang agar lebih memiliki informasi lebih banyak dalam membina dan membimbing anak mereka. Bimbingan yang baik dari orang tua akan membawa dampak positif bagi perkembangan pendidikan anak. Jika semua orang tua di Indonesia memiliki pengetahuan lebih tentang pendidikan anak sejak dini, maka pendidikan di Indonesia akan maju dan bisa mencetak generasi mudah yang sehat, cerdas dan memiliki karakter serta akhlak yang terpuji.
Salah satu yang sangat memperhatikan perkembangan pendidikan anak sejak dini adalah agama Islam. Pendidikan anak sangat diutamkan dan anak-anak diajarkan dan ditanamkan ilmu pengetahuan sejak dini, agar memiliki bekal di masa depan.
Pendidikan anak bukan hanya diperlukan sejak anak lahir, bahkan ketika masih dalam kandungan perkembangan anak sudah dimulai. Sering kita dengar banyak sekali pantangan-pantangan yang tidak boleh dilakukan oleh ibu hamil karena dikhawatirkan ketika mereka sedang hamil dan melakukan hal-hal yang tidak baik akan membawa pengaruh buruk bagi karakter anak yang ada dalam kandungan.
Mungking ssebagian orang tidak percaya sejak dulu orang-orang tua kita telah mengenal beberapa hal yang menjadi pantangan ibu hamil, padahal kalau kita pikir orang-orang tua kita dulu beluum mengenal tentang perkembangan anak yang masih dalam kandungan. Lantas dari mana mereka tahu hal-hal tersebut? ternyata pengetahuan tersebut mereka dapat dari agama Islam yang memang sangat memperhatikan dan mengajarkan mereka bagaimana merawat dan membina anak mulai sejak dari kandungan sampai mereka lahir. Dan bahkan ada pendapat mengatakan, pendidikan anak bukan dimulai ketika anak tersbut masih dalam kandungan tapi jauh sebelum anak tersebut dikandung oleh ibunya.
Karakter anak pada umumnya tidak akan jauh dari kedua orang tua “tidak ada buah jatuh dari pohonnya” mungkin itu pepatah yang paling cocok untuk menggambarkan hal tersebut. Sehingga karakter, sifat, akhlak dan fisik anak tidak akan jauh beda dari kedua orang tuanya. Maka dari itu, jika Anda ingin memiliki keturunan yang memiliki karakter, sifat, dan akhlak yang baik harusnya dimulai dari Anda sendiri. Ketika Anda memiliki sifat, karakter dan akhlak yang baik Insya Allah Anda akan memiliki keturunan yang memiliki sifat, karakter dan akhlak yang baik juga. Jangan pernah berharap ketika Anda mengambil sebuah pohon jeruk untuk ditanam jangan pernah berharap Anda akan bisa memetik buah mangga.
Akses Pendidikan dan Nasib Orang Miskin
HASIL temuan badan pendidikan PBB Unicef (2015), menyebutkan hampir setengah dari anggaran pendidikan di negara-negara berpenghasilan rendah, termasuk Indonesia, hanya dinikmati sekitar 10% penduduknya. Hal itu berarti kesempatan mengakses pendidikan bagi anak-anak miskin di negaranegara itu semakin sedikit. Hasil temuan Unicef juga sampai pada kesimpulan bahwa anggaran pendidikan akan lebih banyak dinikmati golongan menengah ke atas. Sekitar 20% murid yang kaya bisa menerima sumber daya umum yang 18 kali lebih banyak jika dibandingkan dengan 20% murid yang miskin.
Guna mengantisipasi ketimpangan pendidikan di negaranegara miskin dan berkembang—termasuk Indonesia— UNESCO (2015) menyarankan agar investasi dalam pendidikan didistribusikan secara lebih merata. Dengan kata lain, semua anak didik harus mendapat kemudahan akses, termasuk yang paling mungkin tertinggal: anak miskin maupun yang tinggal di perdesaan, perempuan maupun yang dari kelompok minoritas.
Temuan Unicef semakin diperkuat dengan data yang dirilis Bank Dunia di penghujung 2015. Bank Dunia mencatat ketimpangan pendidikan di Indonesia itu dipicu rendahnya angka partisipasi pendidikan masyarakat dan tingkat pen didikan. Ketimpangan pendidikan di Indonesia, menurut Bank Dunia, bahkan setara dengan Uganda, Etiopia, dan beberapa negera miskin di Eropa lainnya.
Seakan menguatkan temuan Becker & Chiswick (1966), Psacharopoulos & Woodhall (1985), dan Digdowiseiso (2009), ketimpangan pendidikan di Indonesia juga bertalian erat dengan ketimpangan ekonomi. Bank Dunia menyebut hanya 1% rumah tangga (sekitar 2,5 juta orang) menguasai lebih dari 50,3% kekayaan Indonesia. Jika asumsi kisaran diperlebar, 10% orang menguasai 70% kekayaan bumi Indonesia. Ketimpangan di bidang ekonomi itu jauh di bawah Rusia (1:66,2%), bahkan Thailand yang hanya 1:50,5% kekayaan nasional.
Akses terbatas
Keterbatasan mengakses pendidikan bagi orang miskin merupakan problem serius yang belum terselesaikan hingga akhir 2015. Keterbatasan akses itu tidak hanya di tingkat dasar, tetapi juga di jenjang yang lebih tinggi. Data Badan Pusat Statistik dan Pusat Data Statistik Pendidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2015) menyebutkan ada 4,9 juta anak yang tidak tercakup pendidikan. Mereka tercerabut dari pendidikan karena kemiskinan, tinggal di daerah yang secara geografis sulit, atau terpaksa bekerja.
Selain itu, jika melihat data Angka Partisipasi Murni (APM) berdasarkan provinsi pada 2014, akan terlihat betapa anak-anak yang tinggal di provinsi di Indonesia Timur tertinggal dari teman-teman mereka di belahan barat Indonesia. Contohnya APM SMP/ MTs sederajat di Papua Barat 63,31%, Gorontalo 70,61%. Bandingkan dengan APM pada jenjang pendidikan serupa yang tertinggi di DKI Jakarta, 95,55%, Yogyakarta 92,01%.
Orang miskin di Indonesia, menurut data BPS, belum mengalami penurunan yang signifi kan. Data terbaru BPS (2014) masih menemukan 28,55 juta penduduk Indonesia masuk kategori miskin. Orang miskin dalam konteks tertentu, seakan terus dipelihara. Mereka merupakan komuditas jualan yang laris bagi elite politik negeri ini. Orang miskin begitu diagung-agungkan, entah dalam pemilu legislatif, pilpres, pemilihan bupati/wali kota, maupun pemilihan lurah. Kan tetapi, ketika sang kandidat sudah berhasil meraih kursi kekuasaan, dan proses politik berakhir, orang miskin kembali pada penderitaan mereka.
Pembatasan yang muaranya pada pembodohan bagi orang miskin harus diakhiri. Selain membuka akses seluas-luasnya bagi orang miskin, kata Malik Fadjar (2008), komersialisasi pendidikan harus segera dihapus dari Indonesia. Alihalih mencerdaskan anak didik, komersialisasi, lanjut Malik Fadjar, hanya akan menghilangkan roh pedagogi.
Ketika pendidikan sudah didapat dengan cara mahal— melalui komersialisasi—akan terbangun karakter mengejar materi agar modal kembali. Sementara itu, persoalan mengenai hakikat manusia, akal budim dan humanisasi tidak dilakukan secara afektif, tetapi sekadar kognitif. Sudah saatnya pemerataan akses pendidikan dibuka seluas-luasnya bagi semua anak bangsa.
Pemerataan pendidikan meliputi paling tidak pada persamaan kesempatan, aksesbilitas, dan keadilan atau kewajaran. Persamaan kesempatan mengandung maksud setiap anak bangsa memiliki peluang yang sama mengakses pendidikan sebagaimana diatur dalam UU No 2 /1989; UUD Pasal 30/1945. Aksesbilitas memberikan kesempatan semua anak bangsa memilih akses pendidikan yang sama, pada semua jenis, jenjang, dan jalur pendidikan. Mereka yang berasal dari desa memiliki akses pendidikan yang sama dengan yang tinggal di perkotaan.
Strategi pemerataan pendidikan dalam arti pemerataan kesempatan untuk memperoleh pendidikan merupakan solusi tepat agar orang miskin bisa sekolah. Pemerataan pendidikan juga memiliki peran penting dalam pembangunan bangsa, seiring juga dengan berkembangnya demokratisasi pendidikan dengan semboyan education for all (Agus Wibowo, 2012).
Indonesia pintar!
Program Indonesia Pintar (PIP) yang diikuti dengan peluncuran Kartu Indonesia Pintar (KIP) sebenarnya bisa menjadi solusi tepat mengatasi keterbatasan akses dan ketimpangan pendidikan. Syaratnya, program itu dilakukan secara efektif dan efisien. Sebagai program perlindungan sosial di bidang pendidikan, KIP dibuat untuk memastikan dan menjamin seluruh anak usia sekolah dari keluarga kurang mampu bisa mengenyam pendidikan.
Ada tiga jenjang pendidikan yang dilindungi oleh KIP, SD/ sederajat, SMP/sederajat, dan SMA/sederajat. Setiap tingkatan pendidikan berbeda besaran bantuan biayanya.Pemerintah bisa menambah jumlah anak yang mendapat bantuan KIP setelah mendapat kucuran dana tambahan dari pengalihan dana subsidi BBM.
Berdasarkan data Kantor Staf Presiden (KSP, 2016), PIP telah disalurkan kepada lebih 13 juta siswa (SD-SLTA, usia 6-21 tahun) dari keluarga kurang mampu, dan membantu siswa untuk meneruskan pendidikan ke jenjang berikutnya. Pemerintah juga telah menyalurkan dana BOS (bantuan operasional sekolah) ke lebih dari 45 juta siswa. Di samping itu, pembangunan sekolah baru, pembangunan ruang kelas baru, rehabilitasi kelas, dan pembangunan laboratorium serta perpustakaan terus dilakukan.
Seberapa besar keefektifan PIP sangat bergantung pada kerja sama semua pihak. Pasalnya, data yang valid sangat dibutuhkan agar program itu tepat sasaran. Untuk itu, sinergitas pendataan di daerah mutlak dilakukan, seperti dinas sosial, dinas kesehatan, dan dinas pendidikan dan kebudayan. Sementara
Akhirnya, akses pendidikan bagi orang miskin harus dibuka seluas-luasnya. Melalui strategi itu, jurang kesenjangan pendidikan diharapkan tidak membentang lebar. Itu menjadi penting mengingat dalam hitungan tahun, bonus demografi akan segera dipanen bangsa ini. Apa jadinya di saat kita menuai bonus demografi, ketimpangan pendidikan kita masih menganga lebar? Jelas kita hanya akan memanen bonus demografi yang tidak berkualitas, tidak kompeten, bahkan hanya akan menjadi penyebab masalah. Ketimpangan tidak akan terjadi jika akses pendidikan dibuka seluas-luasnya bagi semua anak bangsa, saat pemerintah bersama stakeholder pendidikan senantiasa konsisten dalam mengeluarkan kebijakan.
jalan pintas pendiddikan
Harian Kompas edisi 4 Maret 2016 mewartakan rencana pemerintah meluncurkan program penyetaraan S-2. Program ini untuk mengantar secepatnya 69.000 dosen yang masih bergelar sarjana (S-1) karena pemerintah mempunyai target pada akhir 2017 semua dosen sudah bergelar magister (S-2).
Target ini merupakan sebuah revisi karena menurut UU Guru dan Dosen (UU Nomor 14 Tahun 2005), mestinya semua dosen sudah berpendidikan S-2 pada akhir 2015. Namun, rencana ini perlu dikritisi karena membawa banyak konsekuensi yang bermuara pada rusaknya sendi-sendi penting penyelenggaraan pendidikan yang bermutu dan bertanggung jawab di Indonesia.
UU Guru dan Dosen tersebut ditetapkan pemerintah sebagai upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan, khususnya pendidikan tinggi (PT). Pemerintah memberi waktu selama 10 tahun supaya semua PT dapat memenuhi UU ini. Sayangnya, tidak ada langkah konkret-sistemik yang dilakukan pemerintah selain menyediakan beasiswa. Tidak mengherankan apabila akhirnya waktu 10 tahun tidak cukup. Karena seolah tidak ada jalan keluar memenuhi ketentuan UU tersebut,pemerintah merencanakan mengambil jalan pintas. Atas nama Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI), pemerintah akan memberi gelar magister massal kepada para sarjana ini lewat program penyetaraan S-2.
Cara pemerintah menyikapi persoalan kualitas pendidikan tinggi ini bak pepatah ”buruk muka cermin dibelah”. Mengingat standar mutu minimal tak tercapai, maka standar tersebut yang akan diubah meskipun secara tidak langsung. Memang standar minimal berpendidikan S-2 tak akan diubah oleh pemerintah, tetapi makna S-2 yang akan diubah. Bila sebelumnya gelar magister hanya bisa diperoleh lewat kegiatan belajar sekitar dua tahun dan disertai pembuatan tesis, hal itu kemungkinan akan diubah cukup lewat pendidikan dan latihan singkat serta ujian tertulis pilihan ganda.
Bila demikian yang akan terjadi, pemerintah dapat dianggap mencemari gelar magister. Memang belum ada standar khusus untuk memperoleh gelar magister, tetapi sudah menjadi praktik umum di PT Indonesia bahwa gelar magister hanya dapat diperoleh lewat pembuatan tesis yang harus dipertangungjawabkan di hadapan dewan penguji. Saya yakin program penyetaraan S-2 menyingkirkan prasyarat berat ini karena justru di situlah persoalan tidak mudahnya mendapat gelar magister. Tanpa menyingkirkan pembuatan tesis, penyetaraan S-2 tak akan mencapai target dalam waktu dua tahun.
Kebijakan menyesatkan
Selain persoalan teknis di atas, masalah pokok lain bila rencana ini diwujudkan, seolah-olah masalah kompetensi dan kualitas sudah diselesaikan dengan memberikan label atau gelar. Kompetensi yang mestinya dibangun lewat proses dan kendali proses yang baik dinafikan demi kepentingan pencapaian indikator kuantitatif yang tidak berguna. Pemberian gelar tersebut sebenarnya tidak mengubah keadaan apa-apa selain mengubah data.
Pengubahan ini menjadi menyesatkan manakala data yang baru kemudian dipahami terlepas dari konteks dan proses bagaimana data tersebut berubah. Bayangkan saja ketika dalam dua tahun seolah-olah kita mendapat magister baru sebanyak 69.000, tetapi sebenarnya tidak ada yang baru sama sekali.
Apabila program penyetaraan S-2 sungguh digulirkan, akan muncul pesan kuat betapa pemerintah sendiri sengaja merusak proses maha penting dan mendasar sebuah pendidikan tinggi, yakni terjadinya latihan berkegiatan ilmiah (academics exercise). Latihan inilah yang membentuk kompetensi akademik seseorang dan tidak mungkin dipersingkat prosesnya menjadi sebuah pelatihan atau penataran singkat. Kompetensi akademik ini secara esensial sangat berbeda dengan kompetensi praktikal yang dimiliki seseorang. Kemampuan seseorang mengerjakan atau membuat sesuatu tidak dapat disetarakan begitu saja dengan pencapaian kompetensi akademik.
Latihan berkegiatan akademik diarahkan untuk membentuk sikap dan kemampuan seseorang berkreasi akademik. Hal itu berarti ia berlatih untuk menemukan masalah, merumuskan metode pemecahan masalah, dan membuat rekomendasi penyelesaian masalah setelah ia mencoba menyelesaikannya. Namun perlu diingat, masalah di sini bukan sebarang masalah, apalagi masalah teknis seperti membuat ini atau merakit itu. Masalah yang dirumuskan haruslah terkait dengan persoalan pengembangan ilmu karena pembuatan tesis diarahkan untuk menambah pengetahuan di bidang tertentu.
Program penyetaraan S-2 tidak mungkin dapat menggantikan terjadinya academics exercise yang memadai karena sifatnya yang ”kejar tayang”. Program penyetaraan S-2 hanya memperkuat terjadinya pencitraan politis di bidang pendidikan lewat pencapaian indikator persentase dosen PT bergelar magister.
Prinsip jalan pintas
Bila pemerintah terus melakukan prinsip jalan pintas seperti ini, sebagaimana telah terjadi di Pendidikan dan Latihan Profesi Guru, maka dunia pendidikan Indonesia akan semakin terpuruk karena salah satu sumber rendahnya mutu pendidikan kita adalah kuatnya formalisme dalam keseluruhan proses pendidikan. Kalau pemerintah sendiri justru terpaksa memilih orientasi pada keluaran (output) formalitas ketimbang mendorong terjadinya proses yang baik dan bertanggung jawab, lalu siapa lagi yang dapat memperbaiki iklim pendidikan kita?
Sementara itu, kita sudah seharusnya terus prihatin karena masih maraknya praktik kuliah abal-abal, ijazah palsu, dan jasa pembuatan skripsi. Program penyetaraan S-2 akan dipahami masyarakat bahwa pemerintah sendiri mengamini mentalitas sebagian masyarakat bahwa gelar akademik adalah perkara status, citra, atau data statistik ketimbang kompetensi akademik. Dengan demikian, pemerintah tidak harus risih, bahkan dalam taraf tertentu merestui praktik jual-beli gelar dan ijazah palsu.
Seharusnya, ketika target capaian tidak tercapai, pemerintah harus jujur untuk mengemukakan apa yang menjadi sebab-musababnya. Ketika pemerintah jujur, khususnya terkait dengan masalah pendidikan, masyarakat akan mudah menerima dan bahkan akan membantu menangani persoalan tersebut. Akan tetapi, bila target capaian tersebut dirumuskan semata demi pencitraan politik, pemerintah harus menerima realitas politiknya dan harus terus belajar bahwa dunia pendidikan bukanlah dunia industri atau bisnis yang mudah dikenai berbagai target capaian kuantitatif.
Oleh karena itu, pemakaian konsep KKNI menjadi pembenar lahirnya program penyetaraan S-2 sejatinya terlalu dipaksakan. KKNI mestinya hanya berfungsi sebagai mekanisme referensi untuk membuat kesetaraan pengakuan dan penghargaan antara kompetensi akademik dan kompetensi praktikal, dan tidak lalu menjadi kesetaraan gelar akademik.
Kalau sungguh mau konsisten memakai KKNI, cukup dibuat mekanisme pengakuan terhadap kompetensi praktikal para sarjana lulusan S-1 ini, kemudian dapat digunakan untuk mendapatkan status pendidik (baca dosen)profesional. Dengan demikian, yang perlu diubah cukup peraturan untuk memperoleh pengakuan pendidik profesional yang saat ini mensyaratkan minimal berpendidikan S-2.
Memang masih ada persoalan karena tertulis dalam UU Nomor 14 Tahun 2005 bahwa dosen harus berpendidikan S-2. Namun, pemunduran waktu pencapaian amanat undang-undang ini sampai dengan 2017 juga sudah merupakan pelanggaran. Oleh karena itu, pertanyaan dasarnya, mengapa pemerintah tidak berani tegas menerapkan undang-undang ini? Jangan-jangan angka 69.000 ini tersebar di ribuan PT sehingga sangat mungkin dicari jalan penyelesaian yang bersifat lokal di setiap PT dan tidak perlu penyelesaian seragam, sistemik, dan masif di tingkat nasional yang justru berakibat fatal bagi keseluruhan iklim pendidikan Indonesia.